SUMENEP - gudang-warta.com - Forum Peduli Energi Kepulauan (FPEK) menyoroti dugaan kuat adanya praktik penyimpangan distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di dua Agen Premium Minyak dan Solar (APMS) di wilayah Arjasa, Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep.
Selama bertahun-tahun, dua APMS tersebut tidak pernah melayani penjualan melalui dispenser resmi, sebagaimana diatur dalam mekanisme distribusi Pertamina. Sebaliknya, penjualan BBM jenis Solar dan Pertalite bersubsidi dilakukan langsung menggunakan drum dan jerigen kepada pengepul, bukan kepada masyarakat umum.
“Ini sudah lama terjadi. Di Arjasa, dua APMS dibiarkan beroperasi tanpa pengawasan, sementara di daratan Sumenep SPBU yang menjual ke jerigen langsung disanksi. Ini diskriminatif dan mencurigakan,” tegas Nurrahmat, aktivis muda FPEK Sumenep, Kamis (23/10/2025).
Dugaan Pembiaran dan Keterlibatan Oknum
FPEK menduga praktik penyelewengan ini telah berlangsung lama dengan adanya pembiaran sistematis dari pihak Pertamina dan instansi terkait. Nurrahmat menilai lemahnya pengawasan bahkan membuka kemungkinan adanya keterlibatan oknum tertentu.
“Kalau Pertamina tidak tahu, berarti pengawasan mereka lemah. Tapi kalau tahu dan membiarkan, berarti ada permainan. Ini bentuk pengkhianatan terhadap rakyat dan negara,” ujarnya.
Akibat praktik tersebut, harga BBM di tingkat masyarakat Kangean melambung tinggi.
“Solar subsidi di Kangean bisa tembus Rp12 ribu per liter. Padahal seharusnya dijual Rp6.800. Artinya, yang menikmati subsidi bukan masyarakat, tapi pengepul,” tambahnya.
Landasan Hukum Pelanggaran
FPEK menilai praktik tersebut melanggar sejumlah ketentuan hukum, antara lain:
1. Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan —
yang mewajibkan penyaluran BBM bersubsidi dilakukan melalui sarana resmi (dispenser) kepada konsumen akhir.
2. Pasal 53 huruf d Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi —
yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pengangkutan atau niaga BBM tanpa izin usaha dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp30 miliar.
FPEK menilai, dua APMS di Arjasa secara nyata telah melanggar aturan tersebut dan harus segera disanksi serta dicabut izinnya.
Tuntutan FPEK
FPEK menyatakan sikap dan tuntutan sebagai berikut:
1. Meminta Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Timur untuk segera melakukan investigasi dan audit distribusi BBM subsidi di seluruh APMS di wilayah kepulauan, khususnya di Kangean.
2. Menuntut aparat penegak hukum (Polres dan Kejaksaan Sumenep) untuk membuka penyelidikan dugaan praktik mafia BBM bersubsidi yang merugikan masyarakat.
3. Mendorong DPRD Sumenep dan Komisi VII DPR RI memanggil pihak Pertamina dan Pemerintah Daerah untuk mempertanggungjawabkan lemahnya pengawasan.
4. Menuntut transparansi publik atas data kuota, realisasi, dan pola distribusi BBM bersubsidi di seluruh wilayah kepulauan Sumenep.
Penegasan Moral dan Kepedulian Rakyat Kepulauan
Menurut Nurrahmat, pembiaran ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap amanah subsidi rakyat.
“Subsidi BBM itu hak rakyat kecil. Kalau bocor ke pengepul, artinya rakyat kehilangan haknya, dan negara dirugikan. Pertamina harus bersih, jangan jadi bagian dari permainan mafia,” tegasnya.
FPEK menegaskan akan mengawal persoalan ini hingga tuntas, termasuk melayangkan laporan resmi ke BPH Migas, Kementerian ESDM, dan Mabes Polri jika tidak ada tindakan nyata dalam waktu dekat.
“Kami tidak akan diam. Kepulauan bukan wilayah tak bertuan. Rakyat di pulau-pulau kecil juga berhak mendapat BBM bersubsidi secara adil dan legal,” tutup Nurrahmat.
(Guf/GW/Red)


